2012-01-17

jalur sepeda di Kota Jogja

Mulai beberapa tahun lalu, beberapa ruas jalan di Kota Jogja diberi garis penanda jalur sepeda.  Maksudnya sebenarnya baik: ingin memberikan fasilitas bagi pengguna sepeda.  Namun menurut saya ini adalah salah kaprah.


Mengapa demikian?  Karena seharusnya jalur sepeda khusus itu tidak mengambil badan jalan yang sudah ada, melainkan dibuatkan jalur khusus di luar badan jalan.  Ruas jalan di Kota Jogja tidak banyak yang lebar.  Setelah diisi oleh mobil dan banyak sepeda motor, sedikit sekali bagian jalan yang tersisa.  Belum lagi lahan parkir yang sangat kurang, sehingga banyak kendaraan terpaksa parkir di badan jalan.  Lalu seakan dipaksakan sepeda mendapat bagian khusus di jalan, sehingga kendaraan lain terutama mobil harus mengalah sekalah-kalahnya (bus umum tidak akan mengalah, terlebih lagi raja jalanan sepeda motor yang tidak berbudaya).


Memang menambah jalur khusus sepeda di luar badan jalan adalah mustahil di Kota Jogja ini karena sudah padatnya bangunan dan pemukiman di pinggir jalan.  Jangankan menambah jalur sepeda, trotoar yang seharusnya murni hak pejalan kaki sudah penuh digunakan warung liar.  Pejalan kaki terpaksa berjalan di badan jalan, menambah lagi kepadatan dan bahaya.


Lalu bagaimana seharusnya?  Menurut saya, perlu kerjasama, ketegasan, kerelaan, dan disiplin diri dari banyak pihak:

  1. Hapus garis penanda jalur sepeda.  Garis ini membingungkan dan sering membuat lalu lintas bergerak lambat karena ragu-ragu melewati jalur sepeda, biarpun sedang tidak ada sepeda.
  2. Perbaiki badan jalan, terutama di pinggir jalan yang sering kali tidak rata karena lubang pembuangan air dan sebagainya.  Perbaiki dengan baik agar tidak terjadi kerusakan berulang (pemborosan dan peluang korupsi sangat jelas).
  3. Setelah jalan nyaman dilalui, sepeda bisa menggunakan tepi kiri.  Usahakan tidak sampai ke tengah bila tidak perlu, apalagi berjejer dua, tiga, atau bahkan empat.  Sepeda itu jelas lebih lambat daripada sepeda motor atau mobil, seharusnya tidak dengan sengaja memenuhi jalan dan akhirnya menyebabkan kemacetan lalu lintas.
  4. Sepeda motor berlakulah yang sopan.  Gunakan sisi kiri sebisa mungkin, tahan emosi untuk mendahului.  Kalian menggunakan jalan umum, bukan trek balap.  Ketergesaan kalian yang mengambil jalur orang lain dengan paksa menyebabkan kemacetan; kalian bisa lebih cepat beberapa detik tiba di tujuan tetapi orang lain bisa telat bermenit-menit.
  5. Setelah semua menahan diri dari ketergesaan yang tidak perlu, selanjutnya saling mengalah sesuai prioritas.  Mobil mengalah terhadap motor, motor terhadap sepeda, sepeda terhadap pejalan kaki.  Bila memang giliran kendaraan lain memakai jalan, mengalahlah.  Toh giliran kalian akan tiba dalam beberapa detik.  Yang berbelok menunggu yang lurus, tetapi bila yang lurus macet berilah kesempatan untuk yang berbelok.  Toh maju 4 meter lalu akan berhenti lama, mengapa harus mempersulit yang berbelok?
  6. Pemerintah Kota harus tegas membersihkan trotoar dari pemakaian yang tidak semestinya.  Bila seluruh lebar trotoar dipakai untuk warung, apakah si warung membayar pajak?  Saya rasa tidak.  Sudah menyusahkan pejalan kaki, tidak taat pajak, mengambil milik umum untuk kepentingan pribadi, marah pula bila ditegur.
  7. Pendidikan lalu lintas harus ditekankan sejak Sekolah Dasar sampai paling tidak Sekolah Menengah Umum.  Banyak pelajar SMU atau setingkat sekarang ini yang menggunakan sepeda motor dan merasa setiap kendaraan di depannya harus disalip.  Saya pernah melaju di dalam kota sampai sekitar 60 km/jam karena jalanan kosong dan ada sepeda motor yang berusaha menyalip.  Saya sering akan berbelok dan badan kendaraan sudah hampir 100% memenuhi jalan, tetapi ada sepeda motor yang berusaha memotong di depan saya karena "mengerem adalah haram hukumnya" dan "menurunkan kaki adalah dosa tak terampuni".
  8. Persulit proses mendapatkan Surat Izin Mengemudi, tetapi jangan menggunakan metode yang tidak masuk akal.  Misalnya, untuk mendapatkan SIM C (sepeda motor), syaratnya yang bebas KKN adalah lulus tes praktek yang tidak masuk akal.  Apakah jalanan umum itu selebar 1 meter dan berkelok?  Apakah menurunkan kaki karena laju motor terlalu lambat adalah kesalahan?  Bila belokan tajam, kecepatan sangat rendah, dan akhirnya terpaksa berhenti agar tidak jatuh, apakah itu salah?  Yang diuji seharusnya tentang prioritas pemakai jalan, menjaga batas kecepatan, safety riding (!), dan sebagainya yang praktis diperlukan sehari-hari.
Saya percaya, perilaku berkendaraan mencerminkan budaya suatu bangsa.  Yang terjadi sekarang ini, saya merasa budaya bangsa Indonesia adalah buruk.  Hal ini tidak akan bisa memajukan bangsa (lihat saja India, lalu lintas kota di sana lebih buruk daripada Jakarta).  Saya cinta Indonesia, karena itu saya ingin bangsa ini bisa maju dan berkembang.  Salah satu caranya dimulai dari menularkan kebiasaan baik dalam berkendaraan.  Siapa yang mau ikut saya?