2007-08-12

matinya budaya antri

Seperti judul blog ini, saya tinggal di Jogja, yang kata orang Kota Pelajar (berhubung banyak sekali sekolah tinggi di kota ini mungkin). Asosiasi seharusnya adalah Kota Pelajar dipenuhi oleh para pelajar, setuju?

Pendapat saya kali ini adalah tentang hebatnya pemakai jalan di Jogja, terutama pengendara sepeda motor. Mereka hebat, karena sepertinya adalah suatu dosa besar untuk menggunakan rem. Bila ada mobil di depan mereka, tidak peduli melaju selaju apapun, harus didahului. Mendahului adalah dengan menggunakan tempat kosong seadanya, tidak peduli dari sebelah kanan atau kiri mobil yang didahului.

Kehebatan yang lain adalah cara memelihara sepeda motornya. Kaca spion ada dan terpasang semata-mata hanya untuk menghindari tilang polisi. Kaca spion tidak perlu digunakan, karena itu bila perlu kaca dihadapkan ke jalan saja daripada mengganggu 'kecantikan' motornya. Tidak perlu melihat keadaan jalan di belakang, karena pengendara di belakanglah yang seharusnya melihat pengendara motor.

Lampu depan dan belakang adalah aksesoris semata. Bila rusak, tidak mengapa. Karena pada malam hari, pengendara lainlah yang perlu melihat pengendara motor dengan lampunya sendiri. Atau, supaya merasa puas, bisa dipasang lampu putih super-terang untuk lampu belakang, lampu depan boleh mati. Dengan demikian, ada rasa puas karena pengendara di belakang bisa kesilauan melihat lampu belakang motor yang super-terang.

Lampu sein juga aksesoris. Demi kesopanan, bila hendak pindah jalur atau belok atau berhenti, tanganlah yang perlu dilambaikan. Bila tangan sudah dilambaikan, otomatis pengendara lain wajib mengikuti maunya pengendara motor.

Bila sampai di lampu merah, motor harus berada di paling depan. Kalau sudah ada mobil di paling depan, motor harus berada sedekat mungkin di samping mobil. Mengambil jalur lain tidak apa-apa, karena motor harus berada di paling depan. Mungkin kalau keberatan di belakang bus, yang knalpotnya tidak pernah dipelihara, saya bisa memahami karena saya juga tidak suka berada di belakang bus. Tapi di belakang kendaraan biasa apakah salah?

Tidak ada istilah pengendara motor melakukan kesalahan. Bila pengendara motor menyenggol mobil, pengendara mobillah yang salah. Pokoknya motor adalah raja jalanan, tidak ada yang boleh menyalahkan motor!

Mungkin ada yang berpendapat, karena statusnya pelajar, berarti masih banyak yang harus dipelajari. Termasuk mempelajari etiket berlalu lintas, sopan santun, tata krama, dan segala sesuatu yang baik secara umum. Berhubung masih belajar, jadi berlaku yang tidak baik harus bisa diterima, kan masih belajar...

Lalu, bagaimana bila pengendara motor mendapat kesempatan menjadi pengendara kendaraan lain? Sifatnya serta-merta dibawa. Jadi, bus/mobil kalau sampai di lampu merah harus selalu paling depan, kalau perlu ambil jalur arah sebaliknya. Kalau ada mobil di depan, harus selalu didahului. Dan seterusnya... Hasilnya adalah matinya budaya antri dan selamat tinggal kenyamanan berkendaraan di Kota Pelajar.

2 komentar:

  1. daripada jakarta mendingan mana?
    hahaha

    BalasHapus
  2. Katanya orang-orang yang datang dari Jakarta, menurut pengamatan mereka, masih lebih mending di Jakarta. Mungkin karena di Jakarta lebih "beradab" dan banyak polisi menilang kali ya?

    Tapi saya pikir sama saja, karena di Jakarta jumlah motor jauh lebih banyak daripada di Jogja. Jadi sama sebelnya kalo nyetir...

    BalasHapus